ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

BAB III HUKUM PERDATA

Sejarah Hukum Perdata yang ada di Indonesia

Hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia,tidak lepas dari sejarah Hukum Perdata Eropa. Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya hukumtertulis dan kebiasaan. Khususnya hukum perdata yang berada di Negara Belanda yang berlaku di Indonesia.

Sejalan dengan adanya penjajahan oleh Belanda Raja Lodewijk Napoleon menetapkan “Wtboek Napoleon Ingright Vor her Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francis atau Code Napoleon” dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda.

Pada tanggal 5 Juli 1830 Belanda mengerjakan kodifikasi dari hukum perdatanya dan sejalan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van Koophandle) ini adalah Produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya sama dengan Hukum Perdata yang di buat oleh Napoleon pada tahun 1840.

Pada tahun 1948, kedua undang-undang tersebut berlakulah di Negara kita Indonesia berdasarkan asas koncordantie (asas Politik Hukum). Sampai sekarang kita kenal KUH Sipil (KUHP) dan KUH Dagang.

Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia

Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara peroranga di dalam masyarakat. Hukum Perdata dalam arti luas Hukum Privat Materiil sebagai lawan dari Hukum Perdana.

Hukum privat materiil adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Selain Hukum perdata Privat dikenal juga yaitu Hukum Perdata Formil ( Hukum Acara Perdata) yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mangatur bagaimana aranya melaksanakan praktek dilingkungan pengadilan perdata.

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia dapat dikatakan bersifat majemuk (masih beranek warna). Penyebabnya yaitu ada 2 faktor. Pertama factor etnhis (keragaman hukum adat ) karena Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki hukum adat. Kedua Faktor Hostia Yuridis yang dapat dilihat pada pasal 163.L.S yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu :

  • Golongan Eropa dan yang dipersamakan
  • Golongan Bumi Putera ( pribumi/bangsa Indonesia asli ) dan dipersamakan.
  • Golongan Timur Asing ( bangsa Cina, India, dan Arab ).

Untuk memahami keadaan Hukum Perdata di Indonesia Perlulah mengetahui riwayat politik pemerintah Hindia Belanda terlebih dahulu terhadap hukum di Indonesia.

Sistematika Hukum Perdata Indonesia

Sistematika Hukum Perdata di Indonesia ada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu pemberlaku UU berisi :

Buku I                : Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaa

Buku II              : Didalamnnya diatur tentang hukum kebendaan dan hukum waris

Buku III             : Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbale balik antar orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

Buku IV             : Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya duluwarsa.

Pendapat yang kedua menurut ilmu hukum/doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu :

  1. Hukum Pribadi

Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk memiliki dan melaksanakan hak-hak .

II. Hukum Kekeluargaan

Mengatur Perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan (perkawinan beserta hubungan antara suami dengan istri, anak dengan orang tua)

III. Hukum Kekayaan

Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hak-hak kekayaan terbagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang. Maka dinamakan Hak Mutlak dan ak yang hanya berlaku terhadap perseorangan.

IV. Hukum Warisan

Mengatur tentang kebendaan /kekayaan seseorang jika ia meninggal dan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap peninggalan harta seseorang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV HUKUM PERIKATAN

Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )

2. Perikatan yang timbul dari undang-undang

3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

 

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) yang berisi Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) yang berisi Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) yang berisi Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

 

 

 

 

 

 

 

Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :

 

1. Azas Kebebasan Berkontrak

Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.

 

2. Azas Konsensualisme

Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :

 

1. Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

 

Wanprestasi Menurut Hukum Perdata

 

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. Sebagaimana tertulis dalam keputusan Mahkamah Agung tangal 21 Mei 1973 No. 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli. (baca: Yurisprudensi, 1974).

 

Ruang Lingkup Wanprestasi dalam KUH Perdata

 

1. Bentuk-bentuk wanprestasi:

 

a.       Debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali

b.      Debitur berprestasi tetapi tidak tepat waktu

c.       Debitur berprestasi tetapi tidak baik  

2. Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:

 

a.  Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri.

b.  Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.

 

3. Isi Peringatan:

 

     a.      Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi

     b.      Dasar teguran  

 

4. Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi:

 

a.       Pemenuhan/pembatalan prestasi

b.      Pemenuhan/pembatalan prestasi dan ganti rugi

c.       Ganti rugi

 

 

5. Bentuk Khusus Wanprestasi:

 

   a. Dalam suatu perjanjian jual beli, salah satu kewajiban Penjual menanggung adanya cacat tersembunyi, jika ini tidak terpenuhi berarti prestasi tidak terlaksana.

   b. Cacat tersembunyi merupakan bentuk wanprestasi khusus karena akibat wanprestasi ini berbeda dengan wanprestasi biasa.

 

 

6. Akibat Wanprestasi bentuk khusus:

a.  Actio redhibitoria               : Barang dan uang kembali

b. Actio quantiminoris            : Barang tetap dibeli, tetapi ada pengurangan harga

Hapusnya Suatu Perikatan

 

Pasal 1381 KUHPer menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu: 

  1. Pembayaran; 
  2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 
  3. Pembaharuan utang; 
  4. Perjumpaan utang atau kompensasi; 
  5. Pencampuran utang; 
  6. Pembebasan utang; 
  7. Musnahnya barang yang terutang; 
  8. Batal/pembatalan; 
  9. Berlakunya suatu syarat batal dan 
  10. Lewatnya waktu (Daluawarsa). 

Selain cara-cara di atas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya : berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain. 

BAB V HUKUM PERJANJIAN

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Standar Kontrak

Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.

 

1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.

2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

 

Jenis-jenis kontrak standar

 

Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:

 

  1. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
  2.  kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
  3. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.

 

Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:

  1. kontrak standar menyatu;
  2. kontrak standar terpisah.

 

Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:

  1. kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandatangani.

b.    kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan

 

 

 

Macam – Macam Perjanjian

Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;

1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban

Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.

3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil

Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.

4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran

Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.

Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :

1. Sepakat untuk mengikatkan diri

Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.

4. Sebab yang halal

Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.

Saat Lahirnya Perjanjian

 

Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :

a) kesempatan penarikan kembali penawaran;

b) penentuan resiko;

c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;

d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.

Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan. Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak.

Pelaksanaan Perjanjian

Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.

Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.

Pembatalan Perjanjian

Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;

 

1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.

2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.

3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan

4. Terlibat hokum

5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian

 Sumber

http://nnyundd.blogspot.com/2013/05/pengertian-hukum-perikatan.html

http://andilukman.wordpress.com/2012/04/22/hukum-perdataperikatanperjanjiandagang/

http://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/

http://radityowisnu.blogspot.com/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html

http://evianthyblog.blogspot.com/2011/03/hukum-perjanjian-standar-kontrak.html

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/hukum-perjanjian-16/

Buku Ajar Universitas Gunadarma Aspek Hukum Dalam Bisnis

Tinggalkan komentar